Dari Tiga Saudara Melalui Mawea

Pendahuluan

Sejujurnya sampai saat penulisan ini, penulis berusaha menemukan salinan/copy Peraturan dimaksud. Namun penulis tidak menemukannya. Karena itu penulis hanya bertolak dari Rekomendasi BPHS-GMIH Nomor: BPHS/2282/B-4/XXVI/2011, yang di  dalamnya disebutkan bahwa  Rekomendasi dimaksud dibuat berdasarkan;  (1) Peraturan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Nomor: BPHS/597/KPTS/XXVI/2008 tentang: Keikutsertaan Pelayan Khusus dalam Politik Praktis, dan (2) Surat Izin BPHS No: 2245/D-4/XXVI/2010 tertanggal 17 Desember 2010.  Yang disebutkan terakhirpun penulis belum temukan.

Menurut penulis, Rekomendasi BPHS GMIH Nomor: BPHS/2282/B-4/XXVI/2011 dapat berimplikasi dan karena itu pula berdampak politik dan hukum…., karena dikeluarkan pada tanggal 17 Februari 2011 dan disampaikan tembusannya kepada Korwil se-Kabupaten Pulau Morotai serta BPHJ se-Kabupaten Pulau Morotai. Dengan perkataan lain, Rekomendasi itu disebarkan pada waktu seluruh rakyat  (di dalamnya termasuk seluruh warga (GMIH) , yang merupakan bagian integral dari rakyat/pemilih,  di Kabupaten Pulau Morotai, telah memasuki tahapan-tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) Kabupaten Pulau Morotai. Pada waktu yang bersamaan/berdekatan dilakukan pula beberapa kegiatan gerejawi, antara lain Pemuda GMIH di Morotai.  Itulah sebabnya Rekomendasi yang dilakukan oleh BPHS-GMIH dapat saja dinilai orang sebagai Black Campaigne Yang Berbaju Sakral“. Saya sendiri pada saat itu memikirkan menulis dengan judul seperti itu. Namun niat itu saya batalkan sebab ternyata Pdt. A. Djurubasa, M.Teol. telah menulis beberapa pemikiran yang senada di Tobelo Pos Edisi VI ).

Kita harus bersyukur, karena dalam beperkara di Mahkamah Konstitusi Surat Rekomendasi BPHS GMIH tidak diangkat sebagai salah satu bahan bukti sebuah praktek “black Campaigne”. Salah satu ketentuan Undang-Undang Pemilu; tempat-tempat ibadah (mesjid, pura, gereja) tidak boleh digunakan untuk berkampanye, dan/atau menempatkan simbol-simbol/bendera, spanduk partai politik. Nah, kalau itu saja dilarang apalagi sebuah surat resmi BPHS-GMIH yang secara tertulis mencantumkan nama satu pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan disebarkan kepada seluruh Kordinator Wilayah dan Badan Pekerja Harian Jemaat di seluruh Kabupaten Pulau Morotai. Seandainya itu yang terjadi, maka bukan tidak mungkin Ketua BPHS-GMIH dapat diseret ke dalam proses peradilan, minimal sebagai saksi, dan dapat juga ditingkatkan sebagai tersangka, terperiksa,, dstnya.

Pdt. A. Puasa, M.Th. benar ketika mengatakan bahwa GMIH sekarang ini berjalan dengan “rule of the game” yang setengah jadi. Peraturan yang justeru berkaitan dengan Pelayan Khusus (pendeta) yang merupakan “pilot” atau nahkoda yang akan menerbangkan pesawat terbang atau menjalankan kapal belum juga dituntaskan. Mengapa Peraturan Khusus tentang Pelayanan Khusus terus menerus ditunda penetapannya? GMIH sebagai Gereja sekarang ini berada dalam suatu suasana yang penuh bahaya. Pimpinan Gereja terpaksa menerbangkan pesawat atau berlayar tanpa “kompas “ karena tidak ada acuan normatif-teologis yang mendasar.

PEMILUKADA Morotai dan Usul Moratorium Keterlibatan Pendeta dalam Politik Kekuasaan

Bertolak dari pengalaman PEMILUKADA Morotai dan usulan moratorium Pdt. A. Djurubasa di sini saya justru ingin mengatakan seharusnya BPHS membuat semacam PERATURAN BPHS PENGGANTI TATA GEREJA GMIH (bdg. Dengan Peraraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang berkaitan langsung dengan pelayanan para pendeta GMIH di dalam medan pelayanan (internal) gerejawi. Bukan membuka jalan/peluang bagi para pendeta GMIH untuk berbondong-bondong terjun bebas meninggalkan pelayanan/fungsi utama. Mereka sebagai “pilot”/”nahkoda” di setiap jemaat GMIH.

Kecurigaan penulis, rupanya karena di antara oknum-oknum anggota BPHS-GMIH, ada yang telah dilamar atau dilirik oleh partai politik tertentu untuk digandeng sebagai calon wakil gubernur/bupati/wali kota? Atau minimal karena PEMILU LEGISLATIF (2009) sudah di ambang pintu, sehingga BPHS – GMIH  dalam waktu yang relativ singkat menetapkan Peraturan BPHS GMIH Nomor: BPHS/597/KPTS/XXVI/2008? Yang disebut terakhir ini bukan hanya oknum-oknum BPHS GMIH, tapi begitu banyak personalia di kantor sinode pun mendambakan hal serupa (dalam Pemilu legislativ 2009 ada ratusan pendeta GMIH terdaftar sebagai calon legislativ untuk semua jenjang, kecuali DPR-RI, ada juga untuk DPD-RI dan telah mengikuti seluruh tahapan pemilu). Bayangkan! Apa yang akan terjadi dengan pelayanan gereja, jika mereka semua berhasil? Syukur alhamdulillah cuma satu yang lolos.

 Kebetulan penulis juga pernah terlibat seleksi anggota KPUD-HALUT, kami juga mendalami peraturan perundangan mengenai tahapan-tahapan yang dilalui oleh para kandidat Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota. Di sana ada ketentuan; bahwa  bilamana dalam perjalanan tahapan-tahapan PILPRES/PILGUB/PILBUP/PILWAL, ada capres/wapres, dsbnya, mengundurkan diri, maka untuk yang bersangkutan telah tertutup kemungkinan  pencalonan diri  ke depan untuk selamanya. Mengapa demikian? Tentu jawabannya tidak lain; “karena yang bersangkutan dinilai negativ, …tidak memiliki integritas pribadi.

Yang terjadi dalam GMIH, justeru orang yang sudah dipilih dan ditetapkan dalam forum Sidang Sinode( sebagai forum tertinggi dalam organisasi gmih), lalu mau meninggalkannya sebelum berakhir periode pelayanan/jabatannya.  Jika BPHS-GMIH merekruitmen/memanggil mereka masuk ke dalam arak-arakan pelayanan gereja secara sistimatis/terencana begitu baik/indah/mulia. Katakanlah mereka dipanggil melalui “pintu depan”, mengapa disuruh atau diperbolehkan beralih fungsi melalui “pintu belakang“? Justeru dengan cara seperti itu masyarakat dan khususnya jemaat akan menilai bahwa fungsi baru yang akan diemban (politik praktis/kekuasaan) sebagai sesuatu yang kotor.

Untuk menghindari hal itu, maka GMIH (melalui BPHS) yang telah memanggil dan mengukuhkan/menahbiskan mereka sebagai Pendeta, seharusnya melakukan hal yang sama, ketika mereka hendak beralih fungsi. Dengan begitu, maka tidak akan ada kesan seakan-akan mereka lari, atau dibuang.

Mengapa BPHS-GMIH membuat dan mengeluarkan Peraturan BPHS/597/KPTS?XXVI/2008? Apakah ada situasi dan kondisi internal dan/atau eksternal GMIH yang begitu urgent dan bersifat emergency?

Sebagai pengamat masyarakat dan gereja, penulis berpendapat; bahwa tidak ada situasi dan kondisi internal dan/atau eksternal GMIH yang harus mendorong BPHS-GMIH mengeluarkan Peraturan dimaksud. Kalaupun ada situasi/kondisi internal GMIH, itu adalah fakta bahwa ada beberapa pendeta GMIH yang terlibat pelanggaran PEMILUKADA sehingga harus mendekam di penjara. Ada juga perpecahan/pemisahan jemaat GMIH juga banyak terkait dengan pemilu (mulai pilkades, pemilukada, dstnya). Dan yang paling mutakhir, setelah Rekomendasi BPHS-GMIH yang didasarkan pada Peraturan BPHS dan Surat Izin BPHS, yang disebutkan diatas, lahirlah ungkapan yang sangat memalukan:  Pendeta kong ruci (baca: curang)……..            Pendeta GMIH lagi !

Kenyataan itulah yang telah mendorong Pdt. A. Djurubasa menulis dalam Tobelo Pos edisi VI dan edisi VII-VIII dengan Judul: KAIROS UNTUK BERINTROPEKSI, (Secuil pemikiran tentang Pilkada Morotai sebagai titik tolak meninjau keterlibatan Pendeta dalam politik kekuasaan). Beliau antara lain menulis…..“saya pernah mengusulkan agar PILKADA Morotai dijadikan momentum untuk moratorium keterlibatan pendeta GMIH di dunia politik“ (baca: politik kekuasaan).

Di lingkungan gereja-gereja anggota World Council of Churches (baca Dewan Gereja Se-Dunia) istilah moratorium pertama kali dicetuskan dalam Konferensi Pekabaran Injil Internasional di Bangkok pada tahun 1973 dengan tema:  SALVATION TO DAY (baca: KSELAMATAN MASA KINI).  Yang dimaksud dengan moratorium pada waktu itu adalah pemikiran supaya bantuan oikumenis dari gereja-gereja mitra (pada waktu itu umumnya dari Eropa & Amerika) dihentikan, karena bantuan dimaksud dapat menjinakkan (istilah Paulo Freirre, domestication), memanjakan bahkan mematikan inisiatif/kreativitas gereja penerima bantuan). Jadi, yang dimaksud  beliau adalah menghentikan keterlibatan atau keikutsertaan pendeta GMIH di dunia politik kekuasaan (menjadi caleg dan/atau anggota DPRD, DPRI, DPD, calon Bupati/Wakil Bupati, calon Gubernur/Wakil gubernur, dan  semua yang terkait dengannya). Dalam tulisannya ada pengakuan bahwa beliau sendiri pernah mencalonkan diri sebagai calon legislativ dan sebagai calon Wakil Bupati. Tersirat, ada semacam perubahan luar biasa (baca : pertobatan?), semoga!

Beliau juga memberikan contoh beberapa gereja anggota PGI yang telah melakukan moratorium, yaitu: GMIM, GPM, GMIT, GMIST dll. Dalam gereja-gereja dimaksud,….para pendeta yang terlibat dalam politik kekuasaan sepenuhnya dibebaskan dari ikatan kepegawaian gereja sesuai pilihannya. Menurut beliau GMIH telah melangkah ke arah itu, ketika memberhentikan para pendeta yang beralih menjadi PNS.

Saya berpendapat apa yang diusulkan ini sudah sering disuarakan beberapa orang lain jauh sebelum tulisan Pdt. A. Djurubasa dan juga suara-suara dari warga jemaat patutlah didengar oleh SMS V di Mawea nanti dan Sidang Sinode di Dorume, Wilayah Pelayanan Loloda Utara.

Belajar dari kehidupan negara sebagai sebuah institusi dan/atau organisasi

Sekalipun Undang-Dasar 1945 telah diamandemen, MPR-RI sampai saat ini belum menetapkan untuk mengakhiri pemberlakuan Ketetapan MPRS-RI Nomor: XX/MPRS/1966 tentang MEMORANDUM DPR-GR MENGENAI SUMBER TERTIB HUKUM REPUBLIK INDONESIA DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANGAN REPUBLIK INDONESIA.

Di dalam TAP MPRS tersebut tertulis bahwa:  I. PANCASILA adalah Sumber Segala Sumber Hukum. II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Bentuk-Bentuk Peraturan Perundangan, sebagai berikut:.

 Undang Dasar 1945

 Ketetapan MPR

 Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

 Peraturan Pemerintah

 Keputusan Presiden,

Peraturan Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:

 Peraturan Mentri

 Instruksi Menteri, dan lain-lainnya

Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945 adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaanya dilakukan dengan Ketetapan MPR, Undang-Undang atau Keputusan Presiden.

Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislativ dilaksanakan dengan UndangUndang. Sedangkan Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

Undang-Undang adalah untuk melaksanakan UUD atau Ketetapan MPRI. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peratuan-peraturan sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU). PERPU itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, maka PERPU itu harus dicabut. (cetak tebal dari penulis)

TAP MPRS ini dibuat untuk mencegah kecenderungan para pejabat/penguasa dan/atau lembaga terkait untuk membentuk peraturan perundangan yang dapat mengganggu dan/atau mengancam tegak berdirinya Negara Kesutuan Republik Indonesia, yang keberadaan serta tujuannya tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai contoh, fakta membuktikan bahwa ratusan (400?) Peraturan Daerah (PERDA) yang telah ditetapkan begitu banyak DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, begitu banyak rupiah (mungkin triliunan) yang terbuang percuma. Bagaimana kualitas dan kinerja para anggota DPRD  –  DPRD  kita?“

Di dalam kehidupan bergereja juga kita dapat menyusun hirarkhinya sebagai berikut;

 Tuhan Yesus (Kepala Gereja) adalah Dasar Gereja (I Korintus 3: 11)

 Dekalog (keluaran 20: 1 – 12 dan paralelnya, serta ringkasannya yang ditetapkan   Tuhan Yesus (Matius 22: 37 – 40   dan Lukas 10: 27)

 Tata (Dasar) Gereja  Gereja Masehi Injili Di Halmahera

 Peraturan Badan Pekerja Harian Sinode Gereja Masehi Injili Di Halmahera

 Keputusan  BPHS

 Peraturan-peraturan Pelaksanaan  lainnya;

Belajar dari kehidupan bernegara dan kehidupan bergereja (ber-PGI) di Indonesia

Ketika ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan       (Undang-Undang No: 8 tahun 1985), Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia (PGI, sebelumnya DGI) terpaksa harus menyelenggarakan Sidang Raya Istimewa di Jayapura (Irian Barat). Pada S.R. Istimewa tersebut berhasil diformulasikan sebuah kalimat dalam Tata Dasar PGI, bahwa PGI menerima dan mencantumkan  Pancasila sebagai asas di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dari sudut tertib berorganisasi sebagai Gereja, Sidang Sinode GMIH adalah forum tertinggi dalam organisasi GMIH. Karena itu BPHS GMIH tidak mempunyai kewenangan untuk merubah/membatalkan apa yang telah diputuskan/ditetapkan dalam forum Sidang Sinode.

Kita ketahui bersama bahwa semua anggota BPHS GMIH (Ketua Umum, Ketua-Ketua, Sekretaris Umum dan Wakil Sekum) dipilih dan ditetapkan dalam forum Sidang Sinode GMIH. Mengapa BPHS-GMIH memberikan Surat Izin dan kemudian Rekomendasi kepada Wakil Sekretaris Umum GMIH untuk mengikuti proses PEMILUKADA sebagai Calon Wakil Bupati Kabupaten Pulau Morotai? Sebelum itu beliau juga pernah ikut dalam seleksi KPUD HALUT.

Peraturan BPHS-GMIH  tidak boleh bertentangan dengan Keputusan/Ketetapan Sidang Sinode GMIH. Demikian juga peraturan lainnya yang dapat dan/atau akan dibuat oleh BPHS-GMIH tidak boleh bertentangan dengan Keputusan/Ketetapan Sidang Sinode GMIH.

Kalaupun Peraturan BPHS-GMIH Nomor BPHS/597/KPTS/XXVI/2008 telah diterima/disahkan melalui Sidang Majelis Sinode (umpamanya SMS I periode 2007-2012), oleh karena yang bersangkutan dipilih dan ditetapkan dalam forum Sidang Sinode GMIH, maka beliau wajib mengajukan permohonan (tertulis) mengundurkan diri kepada BPHS-GMIH. Lalu BPHS-GMIH mengajukannya dalam forum SMS (untuk mempertimbangkan dan memutuskan). Jika SMS mengabulkan, maka SMS yang memutuskan/menetapkan dalam bentuk Surat Keputusan SMS.  Setelah itu barulah MPS-GMIH dapat membuat Surat Izin dan Rekomendasi kepada yang bersangkutan. (dalam kapasitasnya masih tetap sebagai Pendeta GMIH).  Mengenai penggantinya, dapat ditempuh dengan cara/proses seperti yang dilakukan oleh MPL-PGI yang pernah bersidang di Tobelo. Dari segi peserta (punya hak suara), sidang MPL merupakan Sidang Raya Mini PGI. Pesertanya terdiri dari para Ketua Sinode gereja-gereja anggota PGI. Kebetulan di Tobelo dilakukan pemilihan Ketua PGI (perwakilan perempuan), karena Ketua sebelumnya telah dipercayakan sebuah tugas gerejawi yang jangkauannya lebih luas (di CCA = Dewan Gereja Gereja Di Asia). Para ketua Sinode gereja-gereja anggota PGI adalah anggota ex-officio MPL-PGI..

Pendeta dan Integritas dalam Panggilannya

Yang menarik bagi penulis adalah cara Pdt. A. Djurubasa mengemukakan pendapat beberapa Pendeta yang nota bene adalah juga pakar teologi, Pdt. DR. Eka Darmaputra menyelesaikan  studi S3 dengan gelar Ph.D di Boston university (USA). Sejak bergelar S. Th. (STT Jakarta) beliau ditahbiskan sebagai pendeta di GKI Bekasi Timur, Jakarta. Menjadi Ketua Sinode termuda tahun 1975, SEKJEN GSKI (gerakan Siswa Kristen Indonesia )  tahun 1966. Pernah menjadi salah satu Ketua PGI/DGI dan pendiri Institut DIAN Interfidei di Jogyakarta bersama Dr. Th. Sumartana. Mendapat penghargaan dari LEMHANNAS (Dept. HANKAM RI ). Pdt. DR. A. Jewangoe pernah menjadi Rektor Akademi Theologia Kupang, yang kemudian dikembangkan menjadi Universitas Kristen Artha Wacana. Doktor teologinya di peroleh dari salah satu universitas negeri di Nederland/Belanda. Kini sedang menjabat sebagai Ketua Umum PGI (periode ke-2). Sedangkan Pdt. DR. R. Borrong pernah menjadi Sekretaris BINDIK-PGI, kemudian menjadi Ketua STT Jakarta.

Pak Djurubasa memberi urut-urutan pemikiran mereka; ibarat lampu listrik, voltasenya makin lama makin menurun. Pak Eka jelas dan tegas tidak setuju dengan alasan yang logis-rasional. Tentang sikap pak Jewangoe, saya sendiri mengikuti seminar sehari di kampus UNIERA sampai pada kesimpulan bahwa  Pak Jewangoe sama dengan Pak Eka. Dalam tulisan Pak Durubasa seakan-akan Pak Jewangoe sedikit menurun jika dibandingkan dengan Pak Eka.  Pak Borrong memang terlibat dalam politik kekuasaan. Beliau mencalonkan diri sebagai calon DPD-RI dan telah mengikuti seluruh tahapan PILEG  tahun 2009.

Dalam buku BERTEOLOGI MEMANG ASYIK (Kumpulan Refleksi Teologis, menghormati 91 tahun Pdt. Prof. Dr. P. D. Latuihamallo,  Jakarta. 2009) Pak Borrong menyumbangkan tulisan yang berjudul: (A) DUH,  DEMOKRASI KITA!  Sebagai dosen Etika di STT Jakarta, beliau menilai bahwa demokrasi Indonesia dalam parkteknya adalah demokrasi semu. (Jauh sebelum PILEG 2009, DR. Sutradara Ginting telah menulis buku yang berdurasi 320 halaman dengan judul  JALAN TERJAL MENUJU DEMOKRASI). Jika kita membaca dengan cermat tulisan Dr. Sutradara Ginting, maka apa yang dialami Pak Borrong merupakan salah satu indicator yang membuktikan betapa terjalnya jalan menuju demokrasi yang substansial. Judulnya menantang dan mengundang  kita untuk waspada dalam meretas jalan/cara berdemokrasi kita ke depan (!).

Pak Borrong menyebutkan ada faktor KPU, faktor legislator dan faktor pemilih/rakyat.  …..seorang caleg berkomentar kalau dulu para caleg yang bermain uang (mempraktekkan money politics), dalam pengalaman pemilu legislativ 2009, rakyat pemilih yang bermain uang. Artinya sebagian rakyat pemilih sudah benar-benar menjual suaranya, kalau perlu kepada banyak parpol dan caleg.………Kami menerima caleg mana saja datang berkampanye, uangnya saya terima, soal saya pilih atau tidak, urusan saya di kamar TPS “………Pengalaman … di atas mengindikasikan bahwa ada rakyat pemilih yang telah salah didik.“ Bahkan lebih dari pada itu bisa terjadi jual-beli suara ketika kotak suara itu diarak dari TPS ke PPK dan ke KPU.  

Itulah sebabnya terdengar suara-suara untuk kembali sistem lama, di mana Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Buapti, Walikota/Wakil Walikota dipilih saja oleh DPRD. Dari segi anggaran jauh lebih kecil/murah dan yang paling penting supaya mencegah makin meluasnya pedidikan politik yang salah dan sangat berbahaya untuk jangka panjang. Dr. Sutradara Ginting menekuni kariernya sebagai legislator sejak 1977 (DPRD D.I. Yogyakarta), anggota MPRI 1992-1997, dan fungsionaris DPP PDIP 2005-2010).

Pengalaman para tokoh yang disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa untuk ikut serta dalam  petualangan politik praktis/kekuasaan diperlukan bekal dan kesungguhan yang melibatkan pribadi seutuhnya dan sepenuhnya. Tidak setengah-setengah, apalagi  hanya dengan “satu kaki”. Satu kaki di gereja (kependetaan itu khas gerejawi dan hanya karena dan/atau untuk gereja), sedangkan “satu kaki” lagi di dunia politik kekuasaan.

Itulah sebabnya, dalam menjawab pertanyaan kepada Pak Eka: Bagaimana kalau pendeta memahami keterlibatan dalam politik kekuasaan sebagai hak asasinya sebagai warga Negara?”, Pak Eka menjawab: “Dan bila yang bersangkutan ngotot juga mengenai “hak pribadinya” itu, maka ia harus melakukan aktifitas politiknya itu sepenuhnya di luar gereja.” Itu berarti pendeta dimaksud harus rela menanggalkan kependetaannya (garis di bawah dan cetak tebal dari penulis).

Pak Eka sengaja mempeperhadapkan hak asasi sebagai warga Negara dengan hak pribadi seseorang atau orang per orang. Biasanya para pendeta yang mau berpetualangan dalam politik kekuasaan secara sadar dan bersengaja mengedepankan hak asasinya sebagai warga Negara. Dengan begitu, tersirat ada upaya untuk mengintimidasi setiap orang dan/atau institusi yang hendak menghalangi niatnya. Tentu saja kita masing-masing (para pendeta) didorong untuk bertanya “mana yang lebih dahulu; hak asasi sebagai warga Negara atau hak (asasi) sebagai pribadi?  UUD 1945 yang telah diamandemen telah mencantumkan  dalam batang tubuhnya jumlah pasal yang sangat signifikan tentang Hak Asasi Manusia.  Kita juga telah memiliki Undang Tentang Hak Asasi Manusia (U.U R.I No. 39 tahun 1999 ) dan Undang Undang Tentang Kewarganegaraan  (UU RI No…th….)

Penulis yakin bahwa  Negara diadakan untuk manusia, bukan manusia diadakan untuk Negara. Itu berarti setiap dan semua orang mempunyai harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Karena itu Negara diperintahkan untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia,…….. dstnya (Alinea 4 Pembukaan UUD 1945). Jika kita mencermati penggunaan istilah setiap (orang, anak, penyandang cacat, wanita, isteri dsbnya digunakan dalam jumlah yang sangat signifikan pada pasal-pasal UU RI No 39 tahun 1999. Yang dimaksud dengan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh  Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dengan menggarisbawahi istilah hak pribadi seseorang (baca: para pendeta), sebenarnya Pak Eka menukik langsung kepada hal lain yaitu integritas setiap pribadi, yang mencakup moral, intelektual dan religius. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno menjelaskannya sebagai berikut; (1) yang menjadi ciri khas integritas intelektual adalah keterlibatan pada kebenaran. …… Dan dalam hal kebenaran, kata kerukunan tidak ada tempatnya, melainkan merupakan korupsi mental ……(2) Integritas moral berkaitan dengan rendah hati, tidak munafik, tidak berkhianat, cinta pada mutu dan setia sampai akhir. Hanya integritas intelektual dan moral-lah yang dapat memberikan keberanian moral yang dibutuhkan untuk menjalankan job (baca tugaspekerjaan/panggilan, termasuk dalam saat-saat kritis dan krisis…………(3) Integritas religius menuntut sikap hormat terhadap cara bagaimana Yang Maha Kuasa berkenan menyentuh dan bergaul dengan hati segenap dan setiap orang. Ada hubungan yang erat sekali antara integritas religius dengan integritas intelektual dan integritas moral.

Jika hal-hal itu telah ada pada setiap pendeta (khususnya pimpinan GMIH = MPS GMIH periode 1997-2002 pada waktu konflik berdarah di Halmahera, pasti tidak akan pernah ada spanduk yang bertuliskan: GEMBALA MENINGGALKAN DOMBA. Spanduk ini dibentangkan di dermaga/pelabuhan Tobelo menyambut beberapa pimpinan GMIH yang baru kembali dari tempat pelarian/pengungsian/persembunyian di Sulawesi Utara.

Dari sekian jumlah MPS-GMIH, yang bertahan dan menyelamatkan beberapa dokumen penting serta komputer adalah seorang perempuan/ibu rumah tangga. Beliau adalah seorang PNS, guru di SMA Kristen, kemudian menjadi Pengawas. Beliau juga memberikan kuliah di STT GMIH Tobelo, Sekretaris YPTK GMIH dan anggota MPS GMIH periode 1997-2002. Beliau mengamankannya di rumah milik pribadi/keluarganya. Rumah mereka sekaligus menjadi rumuh gumul dan doa, yang antara lain dipandu Pdt. Gultom (Pendeta GMIH yang sebelumnya jadi pimpinan jemaat GMIH di Gamhoku).  Bersama-sama dengan Ir. Hein Namotemo, MSp (Ketua LKMH),  Dra. J. B. Mahura dan beberapa tokoh Muslim beliau mengikuti sebuah pertemuan dengan sebuah organisasi internasional yang telah berperpengalaman menangani konflik di Bosnia. Tidak lama setelah kembali dari pertemuan tersebut (di Manado-Sulawasi Utara),  ada undangan lagi dari organisasi yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan di Bali. Pada waktu itu sang suami tercinta menyarankan supaya isteri tersayangnya menunggu saja KM. Atalia. Tetapi karena hendak mengejar jadwal pertemuan dimaksud, beliau terpaksa ikut KM. Cahaya Bahari bersama para korban dan pengungsi lainnya. KM. Cahaya Bahari tenggelam, dan semua penumpangnya dinyatakan hilang, kecuali beberapa orang dapat diselamatkan.

Beliau adalah Dra. Christin Simange, satu hal yang sampai sekarang belum ditangani oleh MPS-GMIH (periode 1997-2002)  adalah rekening telepon rumah mereka yang berjumlah Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Telepon ini digunakan tim untuk berkomunikasi dengan mitra di dalam negeri dan diluar negeri. Komputer kantor sinode GMIH juga digunakan untuk menginventaris jumlah korban (jiwa dan materi) sejauh yang dapat dijangkau dengan media komunikasi yang ada pada waktu itu. Jika dibandingkan dengan pimpinan GMIH (MPS-GMIH) pada waktu itu yang semuanya pendeta/teolog yang bergelar M.Th., ibu Christin (anggota MPS GMIH) hanya seorang warga gereja/awam. Mungkin karena itu pula namanya tidak pernah dikenang dalam pertemuan-pertemuan gerejawi GMIH. Namanya …sengaja(?)…. ditenggelamkan……Kedua anak mereka (putera & puteri berhasil menyelesaikan studi S1). Yang putera kembali ke Tobelo, bekerja di salah satu Bank dan telah menikah. Yang puteri telah menemukan jodoh dan menikah di Yogyakarta dengan seorang Insinyur Sipil. Dia belum pernah kembali ke Tobelo. Mungkin dalam pikirannya, apa gunanya kembali ke Tobelo. Mamaku telah tiada,….. pusara/makamnya pun tidak ada!

Selama pimpinan GMIH vakum kita dibantu oleh gereja tetangga kita GMIM yang membentuk semacam Crisis Center. Bantuan itu dikirim dari pelabuhan Manado melalui KM. Atalia dan Cahaya Bahari. Setelah Ketua, wakil ketua dan sekretaris MPS GMIH kembali dari tempat pengungsian (pelarian, persembunyian?) di Sulawesi, mereka segera membentuk Crisis Center GMIH.  Data yang direkam pada komputer yang diungsikan di rumah ibu Christin Simange digunakan untuk “menebarkan jala “ untuk memperoleh bantuan dari mitra terkait. Berhasil memang! Ketika saya berkunjung ke Jakarta (bersama tim 13 dengan agenda pemekaran Halmahera Utara dan pertemuan dengan warga Halmahera Utara di Jakarta untuk rekonsiliasi), saya memperoleh informasi dari sumber terpercaya bahwa dana/bantuan yang telah disalurkan kepada Crisis Center GMIH berjumlah milyaran rupiah.. Apakah sudah ada laporan pertanggungjawaban? Wallahualam! Yang jelas ketika seorang peserta sidang sinode menanyakan hal ini di gedung gereja Jemaat IKHTUS Wari, .. jawaban Ketua CCH-GMIH belum dibuat.   Lalu ….kapan?

Yang lebih memprihatinkan lagi, ungkapan Gembala Meninggalkan Domba yang diarahkan kepada mereka, sama sekali tidak menggugah hati nurani mereka. Sebaliknya, mereka berbondong-bondong menjadi calon legislativ. Berhasil memang,…..dua orang menjadi anggota DPRD Propinsi Maluku Utara. Mereka meninggalkan lagi domba-domba, yang justeru seharusnya digembalakan, karena sebagian besar domba-domba harus memulai hidup baru di atas reruntuhan rumah. Harta milik (dusun) mereka pun banyak yang telah dibabat. Benarkah mereka bersaksi di sana? Apakah mereka telah menjadi ragi, garam dan terang di sana?

Penulis mendukung pengamatan dan penilaian  bapak  P.H. Thomas, B.A. Yang telah terjadi bukan ”ragi“ Kerajaan Allah yang “mengkhamiri” dunia politik, tetapi sebaliknya “ragi herodes” “yang telah “mengkhamiri” “adonan gereja.” Yang telah dan sedang menjadi-jadi sebenarnya politisasi agama ( baca: politisasi gereja ).

Upaya ini secara sistimatis/terencana dilaksanakan. Sampai-sampai mewarnai hampir semua-sidang gerejawi GMIH.   Ini nampak di Tiga Saudara/Sekawan (HALBAR -2007). Sebahagian besar pendeta telah terkontamisasi dengan “ragi politik” beramai-ramai mem-pending untuk memutuskan/menetapkan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan bergereja. Draft Peraturan Pelayan Khusus, khususnya Pasal 9. Di dalamnya ada ketentuan bahwa para pendeta  (termasuk para pendeta pensiun atau pendeta emeritus) yang akan beralih profesi  akan ditanggalkan kependetaanya.  Penanggalan dimaksud didahului dengan permohonan pendeta yang bersangkutan, dan mencapai klimaks pada Ibadah Khusus dengan liturgi khusus pula.

Hal itu dilakukan, supaya sama seperti proses pemanggilan/rekruitmen pendeta melalui tahapan menjadi mahasiswa/I perguruan teologi, setelah tamat (minimal S1) mengajukan permohonan untuk divikariskan oleh BPHS-GMIH, menjalani masa vikariat dua tahun, lalu ditahbiskan/dikukuhkan sebagai Pendeta GMIH dalam suatu ibadah khusus dengan liturgi khusus pula.. Begitu juga mereka harus  melewati suatu proses pergulatan/pergumulan yang intensif. Dengan begitu maka para pendeta yang bersangkutan ditantang untuk menggumuli dengan sungguh-sungguh. Juga hal ini dilakukan gereja (GMIH) supaya tumbuh suatu pemahaman yang benar tentang makna pekerjaan/tugas sebagai panggilan Tuhan Allah.  Semua pekerjaan yang baik (termasuk dunia politik praktis/kekuasaan) suci adanya. Dan kalau sang pendeta berkehendak kuat mau terjun ke sana, gereja menopangnya sama seperti ketika ia/mereka memberi diri untuk dibentuk dan kemudian dikukuhkan/ditahbiskan sebagai pendeta. Jabatan pendeta  diberikan oleh Gereja untuk digunakan dalam pelayanan internal gereja. Bukan untuk yang lain. Gereja berhak dan bertanggungjawab untuk menilai kinerja para pendeta demi tegaknya missio Christi, missio eklesiae yang bersumber Missio Dei. Sekedar perbandingan, hak Mengajar Prof. Dr. Hans Kung dicabut oleh Gereja Roma Katolik, sebab banyak ajarannya bertentangan dengan doktrin resmi gereja R.K. Di Indonesia ada seorang Romo (juga bergelar Doktor ) juga dicabut hak mengajarnya di lingkungan gereja R.K. karena masalah moral.

Jika ini yang terjadi maka GMIH telah berusaha mendorong para pendeta untuk sungguh-sungguh mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh,…. kalau hendak ke … sana!  Sebagai pendeta kita harus jujur, bahwa kemampuan kita dalam kaitan  dengan  politik praktis/kekuasaan masih minim.  Kebanyakan di antara kita masih “hijau”.  Kita masih harus belajar tentang politik kekuasaan dengan segala liku –lukanya.

Tanggungjawab Gereja dalam Pendidikan Politik Warga

Fakta/kenyataan ditolaknya empat ratusan PERDA oleh Mahkamah Konstitusi merupakan indikator betapa minim dan buruknya kualitas para anggota DPRD. Hal yang sama juga nampak dalam pengamatan dan/penilaian mengenai para anggota DPR-RI., seperti banyak diulas media massa dan elekronik. Ada mafia anggaran, calo anggaran, korupsi, dsbnya. Banyak anggota DPRI/mantan anggota DPRI yang telah dijebloskan ke dalam hotel pordeo (baca: penjara). Gereja-gereja di Indonesia (termasuk GMIH) tidak boleh mencuci tangan terhadap  fakta kualitas/kinerja para anggota DPRD/DPR-RI seperti itu.  

Sebagai mantan dosen Sekolah Tinggi Teologi GMIH (STT-GMIH) Ternate/Tobelo (yang kini telah dikembangkan menjadi Fakultas Teologi Universitas Halmahera, saya sangat salut dan menghargai tinggi sikap beberapa alumni STT-GMIH Tobelo; Weny Paraisu, S.Ag., Klemens Banggai, S.Ag.,  Nelman Tahe, S. Si. dan Johny Rahmat, S.Ag.  Mereka tidak mengajukan permohonan untuk menjalani masa vikariat. Itu berarti mereka secara sadar dan bersengaja telah memutuskan untuk tidak menjadi Pendeta GMIH. Di antara mereka berempat, saya sering mengadakan percakapan (pastoral?) informal. Ada yang datang ke rumah kami, ada juga yang saya kunjungi di rumah dan/atau di kantor yang bersangkutan. Saya menilai mereka sebagai pribadi yang memiliki keberanian moral/iman. Mudah-mudahan dengan begitu, akan terbentuk integritas pribadi yang utuh dan tangguh, sebagai kader muda GMIH.

Acuan utama penulis dalam percakapan mereka Martin Luther dan Yohanes Calvin (tokoh reformasi gereja, khususnya terkait dengan doktrin Imamat Orang Percaya dan makan pekerjaan sebagai Panggilan Tuhan Allah).  Sedangkan kaitan dengan profesi pendeta dan teolog, acauan utama saya adalah  alm. Dr. J. Leimena dan alm. Letnan Jenderal (Purn) T. B. Simatupang; masing-masing akrab dipanggil dengan Om Yo dan Pak Sim.   Para kolega Om Yo. (termasuk Bung Karno) selalu menyapa Om Yo dengan Domine (baca : Pendeta), sedang untuk Pak Sim, para teolog (akademisi) menghargai dan menilai Pak Sim sebagai Teolog Awam. Pak Sim meninggalkan banyak tulisan/buku-buku, antara lain; Laporan Dari  Banaran, Dari Revolusi ke Pembangunan, Agama Kristen dan Pancasila, The East and the West Tension dll.  Ada dua buku penghormatan yang dipersembahkan ketika beliau berulang tahun yang ke – 50 (Keyakinan dan Perjuangan) menjelang ulang tahun yang ke – 70 (Saya Adalah Orang Berutang). Untuk tulisan Om Yo yang penulis pernah temukan adalah Kewarganegaraan Yang Bertanggung Jawab dan kalau tidak salah Seratus Tahun Dr. J. Leimena. Keduanya disusun oleh orang lain. Pada peringatan Hari Pahlawan (10 November 2010) beliau dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Ketika perang mempertahankan kemerdekaan, pak Sim adalah orang kepercayaan Jenderal Soedirman, dan turut bergerilya (alur bergerilya mereka selalu dinapak-tilasi oleh rakyat, khususnya para teruna AKABRI.  Setelah Jenderal Soedirman wafat, Pak Sim dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Repulik Indonesia. Ketika konperensi Meja Bundar diselenggarakan di Denhag (Belanda) Pak Sim menjadi staf ahli, sedangkan Om Yo dipercayakan sebagai Ketua Komisi Militer.  Pak Sim termasuk tokoh yang menelorkan SAPTA MARGA – Tentara Nasional Indonesia  dan konsep Pembangunan Nasional Sebagai Pengalaman Pancasila PNSPP). Di dalam kehidupan gereja-gereja (Khususnya PGI/DGI) Pak Sim menelorkan konsep Gereja-gereja berpartisi dalam pembangunan nasioanal secara positif, kreatif dan kritis. Setelah keduanya pensiun dari pengabdian kepada Negara dan gereja, mereka belum memiliki rumah sendiri. Karena itu Negara menghibahkan kepada mereka; masing-masing di Jalan Teuku Umar dan di Jalan Diponegoro (Jakarta Pusat). Dari sebuah literatur jelas bahwa Om Jo membayar rumah tersebut dengan cara mencicil. Sedangkan rumah yang sebelumnya ditempati keluarga Pak Sim, kini telah ditempatii kedutaan Besar Palestina  (mungkin dijual oleh keluarga setelah Pak Sim  meninggal dunia?)  Bayangkan Pak Sim berjuang dalam rentang waktu yang begitu panjang. Demikian juga Om Yo, kurang lebih tujuh kali menjadi Menteri (di jaman kepemimpinan Presiden Soekarno) dan pernah mendapat kepercayaan sebagai Pejabat Presiden.  Sudahkah para pendeta becermin dan belajar dari ke dua warga gereja ini? Sebelum berpetualangan dalam dunia politik praktis/kekuasaan.

Perlu diketahui juga, sdr. Johny Rahmat telah menjadi staf ahli DPD-RI Propinsi Maluku-Utara, Ketua Umum DPP-GMKI,(kantor pusat di Jakarta) anggota KPUD HALUT, dan sedang studi ilmu komunikasi (?) di Universitas Indonesia Jakarta. Sdr. Klemens Banggai pada Pemilukada 2009 memperoleh jumlah suara yang sangat signifikan. Sebenarnya beliau dapat memperoleh satu kursi, tetapi karena faktor KPU ia tidak/belum berhasil. Saudara Nelman Tahe pasti sementara belajar (auto-didak, teori dan praktek), beliau tidak malu untuk secara bergantian dengan isteri tercintanya berjualan di salah satu sudut pasar Tobelo. Saudara Weny Paraisu sekarang menjadi Wakil Bupati Kabupaten Pulau Morotai (sebelumnya beliau menjadi manager Credit Union Saro Ni Fero).

Seruan bagi Seluruh Warga Jemaat GMIH dan Para Pendeta GMIH

Seandainya para pendeta tetap bersikeras pada sikap dan pendirian mereka, penulis mengajak seluruh warga gereja untuk menentukan sikap. Jangan biarkan bahtera GMIH kandas dan pecah, hanya karena ulah para pendeta.  Penulis, pendeta emiritus GMIH mengajak seluruh warga gereja (GMIH) untuk merapatkan barisan dan menggumuli kembali apa yang terjadi dengan nabi Yunus di dalam Alkitab (Perjanjian Lama).  Agar supaya bahtera  GMIH tidak karam diterpa badai/gelombang, baiklah kita membuang  saja“Nabi Yunus” nya.

Tidak perlu lagi kita “membuang undi”. Jika para pendeta sudah tidak mau bersepakat melalui forum-forum sidang – gerejawi yang telah menguras milyaran rupiah persembahan warga jemaat,…..untuk apa lagi kita menunggu SMS (Sidang Majelis Sinode di Mawea, Februari 2012 atau Sidang Sinode di Dorume tanggal…bulan… tahun  2012?

Sudah bukan rahasia lagi banyak ungkapan pendeta mimbar, pendeta seri selamat, pendeta pardidu (nanti muncul di Jemaat kalau sudah dekat tanggal terima gaji). Dulu ada ungkapan pendeta sakramen. Itu dapat dimengerti, sebab pada waktu satu klasis/wilayah pelayanan hanya satu pendeta dengan fasilitas transporatasi yang sangat terbatas. Bahkan ada yang hanya “pendeta angkatan” (tidak melalui pendidikan teologi formal). Kini, hampir semua jemaat sudah punya pendeta (rata-rata S1, ada yang S2), bahkan  ada  jemaat yang punya pendeta sampai empat, lima … mengapa muncul ungkapan pendeta mimbar dsbnya? Astagafirullah! BPHS cenderung mempersalahkan Fakultas Teologi (dulu STT GMIH). Begitukah kita ber-BPHS dengan segala alat kelengkapannya? Ada Ketua yang membawahi yayasan-yayasan, bidang-bidang, ajaran dan teologi, LPWG dan seterusnya. Apa kerjamu, di situ? (bdg. I Samuel 19). Ketimbang mengurus dan menggumuli panggilan khas gereja (mengemban Missio Dei, Missio Christi, Missio ekklesiae),  yang masih jauh dari beres,  BPHS malah mengeluarkan Peraturan  Nomor: BPHS/597/KPTS/XXVI 2008 tentang: Keikutsertaan Pelayanan Khusus (baca: Pendeta) dalam Politk Praktis.

Kenyataan bahwa pada Pemilihan Calon Legislatif 2009 begitu banyak pendeta GMIH “terjun bebas”  (200-an,untuk caleg DPRD Kabupaten/Kota, DPD-RI, CAWABUP, mungkin esok lusa CAWAGUP bahkan CAWAPRES ) membuktikan  maaf penulis menggunakan istilah yang beraroma pornografi  “libido/syahwat’ para pendeta untuk berpetualangan dalam dunia politik kekuasaan begitu meninggi.  Sebab umumnya orang bilang  jika barang itu sudah meninggi sedemikian rupa, maka bagaimanapun terjalnya jurang, ….bagaimanapun tingginya gunung, …bagaimanapun luasnya samudera, ……..  akan ku turun…, akan kudaki gunung atau aku akan berenang… untuk menggapaimu kakanda atau adinda tersayang! Sekali lagi mengapa BPHS GMIH periode 2007-2012 melakukan hal itu? Jawaban sangat jelas,….. hampir semua anggota BPHS adalah orang-orang Partai Politik (GOLKAR, PDIP, PDS dsb) begitu juga dengan bidang-bidang, yayasan dsbnya.

Penulis memandang suasana/situasi ini mirip dengan apa yang terjadi dengan  Yohanes Pembaptis (Matius 1 – 12 dan paralelnya). Apa yang dilakukan oleh oknom-oknom BPHS GMIH periode 2007-2012 adalah sama dengan; ……….”PERSIAPKANLAH JALAN UNTUK AKU/KAMI, ……………..LURUSKANLAH JALAN BAGI AKU / KAMI“  untuk apa? Silahkan pembaca menjawabnya. Semuanya terang benderang, di siang bolong.

Penulis mengajak seluruh warga jemaat GMIH untuk tidak dimainkan oleh para pendeta, apalagi mereka yang dikategorikan sebagai pendeta mimbar, pendeta seri selamat atau pendeta pardidu. Ada pendeta yang disebut seperti “kutu loncat”, karena dalam berkampanye, ia ”melompat” dari kandidat yang satu ke kandidat yang lain.

Penulis berpendapat, kalau hanya sebatas mimbar, sudah ada banyak warga jemaat GMIH yang dapat melakukannya. Kalau berkaitan dengan pelayanan sakramen, bila perlu dan kalau sudah terpaksa kita datangkan saja para pendeta dari gereja tetangga.  Kata Gus Dur, itu saja ko repot?

Sekali lagi penulis mengajak seluruh warga jemaat GMIH untuk merapatkan barisan dan tetap utuh. Tidak perlu kita memisahkan diri dan/atau pecah sebagai jemaat GMIH. Seluruh warga jemaat GMIH harus mendorong para pendeta peserta Sidang Majelis Sinode di Mawea  Februari 2012 untuk mencabut atau membatalkan Peraturan BPHS GMIH Nomor: 597/BPHS/XXVI/2008 dan mengesahkan Draft Peraturan Tentang Pelayan Khusus yang dipending pada Sidang Sinode GMIH 2007 di Tiga Saudara/Sekawan (Halmahera Barat)  pada Sidang Sinode GMIH di Dorume (Halmahera Utara) tanggal… bulan .. 2012. Tidak perlu lagi keluar ucapan dari warga jemaat::  ibu/bapak pendeta jangan begitu! ……bukankah jemaat yang kasih gaji pa ibu/bapak pendeta …? (Ungkapan ini muncul pada hari H di salah satu TPS di Kabupaten Pulau Morotai, karena ulah genit seorang pendeta yang dipertontonkan di depan umum).

Didalam kegelisahan dan persaan malu sebagai seorang Pendeta GMIH, penulis sungguh terhibur dengan fakta di lapangan, bahwa ada warga jemaat GMIH yang berani berargumentasi dengan salah satu kandidat wakil bupati yang berceramah dengan judul “SUARA KENABIAN YANG HILANG”. Seakan-akan, suara kenabian itu baru dapat diperdengarkan kalau seseorang menjadi birokrat eksekutif, legislative dan yudikatif. Warga jemaat GMIH tersebut mengatakan: “Justeru bapaklah yang menghilangkan suara kenabian!” Kebetulan Skripsi Sarjana Theologia penulis (1973), Azas-Azas Kurikulum Dalam Perjanjian Lama Dengan Implikasinya Buat Pendidikan Agama Kristen(P.A.K) Pembebasan.Mengenai hal ini akan diulas pada kesempatan lain.

Pangggilan  Berziarah di Sepanjang Jalan Kehidupan sebagai Orang-orang Beriman.

We all begin the pilgrimage of faith as infants”. Demikian James Fowler dalam bukunya The Stages of Faith (1981). Kita sekalian memulai (perjalanan)  berziarah (sejak)sebagai anak-anak. Itu berarti seluruh dunia ini, di mana pun kita berada, ke mana pun kita akan pergi dan kapanpun kita ada dan berada……. kita sekalian sedang berada dalam perjalanan, sebagai arak-arakan orang beriman menuju Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang telah dan sedang datang itu!

Karena dan untuk itulah kita selalu dan senantiasa berdoa:  Datanglah KerajaanMU, .. Jadilah kehendakMu di Bumi seperti di Sorga…!   

Melalui media massa (Koran/majalah/radia & Televisi) kita sudah tahu betapa galaunya kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.  Kekerasan bermunculan di mana-mana. Muncul ungkapan NEGARA GAGAL, NEGARA AUTO PILOT, PEMBIARAN, …dstnya.

Johnson Panjaitan (praktisi hukum internasional) menganggap Negara kita telah menjadi NEGARA MAFIA (mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak dstnya).

Tokoh-tokoh agama menilai dan telah menyatakan secara gamblang bahwa pemerintah telah melakukan pembohongan publik, dan sehubungan dengan itu pula tahun 2011 telah dicap sebagai Tahun Penuh dusta. Untuk itu mereka pernah berjalan kaki dari kantor KWI  ke kompleks Gedung Pola  di Jalan Proklamasi. Tempat di mana Proklamasi Kemerdekaan R.I. di kumandangkan dan di sana ada Patung Besar Proklamator – Soekarna- Hatta (kurang lebih 3 atau 4 km).

Belajar dari Pergulatan Seorang yang Bernama Yusuf Bilyarta Mengunwijaya.

Untuk mempersingkat, pada bulan Agustus – September 1945 ia mendaftarkan diri untuk prajurit TKR (Tentara Kemanan Rakyat) untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan R.I. Beliau diterima dan diasaramakan  dalam TKR Batalyon X.  Beliau sempat terlibat dalam pertempuran di Magelang, Ambarawa dan Semarang di bawah komando Mayor Soeharto (kelak jadi Presiden kedua R.I.  32 tahun). Usai pertempuran yang telah dimenangkan TKR beliau mendengar pidato dari Komandan Tentara Pelajar Indonesia, Mayor Isman (kelak berpangkat  Mayor Jendral,  Pidato Mayor Isman sebagai berikut:

…….. Jangan kalian sebut kami pahlawan atau bunga-bunga bangsa. Oleh karena perang, kami telah belajar melukai dan membunuh. Oleh karena perang kami telah membakar rumah-rumah. Kami sudah mengenal dan mengerjakan banyak hal yang kotor, yang di bawah oleh situasi perang dan keadaan tidak normal. Kami tidak minta disanjung. Hanya satu ………yang kami minta… berilah kami kesempatan untuk menjadi manusia normal. Sekali lagi… menjadi manusia normal “

Pidato ini membuat Mangunwijaya terdiam lama. Bahkan lebih dari pada itu, ia sangat gelisah dan tidak bisa tidur beberapa hari. Ia minta nasehat pastor gurunya. Pastor menasehati agar berdoa mendalam. Kalau perlu retret (ziarah rohani dengan menyingkarkan diri dari dunia ramai untuk mengadakan penyucian batin dan refleksi diri)”. Ia menemukan sikap dasar yang menjauhkan bangsanya dari godaan “berlumuran darah dalam berbagai bentuk Ia ingin menjadi rohaniwan yang bekerja tidak demi harta dan kekuasaan, apalagi dengan tangan-tangan berlumuran darah, yang mengorbankan rakyat. Ia masuk Seminari Menengah, kemudian Seminari Tinggi dan kemudian ditahbiskan sebagai imam. Tetapi kemudian Uskup Agung A. Soegijopranata memnggilnya untuk bersekolah lagi. Rupanya uskup mengetahui bahwa cita-cita Mangunwijaya sebelum menjadi imam/pastor adalah menjadi insinyur. Ia bersekolah di ITB Bandung dengan tetap mengenakan jubah pastor. Belum setahun di ITB uskup agung memanggilnya untuk belajar Arsitektur di  Aachen (Jerman). Sekembalinya dari Jerman ia sempat mengjar di Fakultas Teknik UGM. Beliau tetap seorang pastor, sehingga kemudian lebih akrab dipanggil sebagai Romo Manguwijaya.  Beliau membedakan politik kekuasaan dengan politik moral/etis. Beliau tidak pernah terjun dalam politik praktis/kekuasaan, tetapi beliau berpolitik melalui tulisan-tulisannya. Banyak tulisannya yang ditolak (tidak diterima) oleh redaktur media massa di jaman pemerintahan Soeharto. Tulisan-tulisan itu kemudian dibukukan dengan judul: Politik Hati Nurani.  Bukunya kecil, tapi sangat tajam/pedas mengkritik rezim , ibarat cabe rawit yang bentuknya kecil tapi sangat pedas.

Kalau pun ada pastor atau pendeta yang dulu (di zaman revolusi/perang mempertahankan kemerdekaan RI), terjun dalam dunia politik kekuasaan, itu merupakan sesuatu yang aksidental bukan sesuatu yang esensial-substansial (demikian Romo Mangunwijaya). Mangunwijaya menulis: “Rohaniwan sejati tidak berpolitik dalam arti terjun dalam pergulatan kekuasaan atau power plays politics, ekonomis, sosial, cultural. Dunia kekuasaan bukan dunia rohaniwan yang masih punya harga diri serta sense of morals and ethics. Rohaniawan tetap wajib berpolitik, tapi politik dalam arti lain, yang lebih asli, yakni menyumbang apa pun, …..demi the common good (= kebaikan bersama), wilayah kebenaran, kejujuran, keadilan, penyembuhan, cinta kasih, pemerdekaan… dsbnya…agar orang dan masyarakat makin memerdekakan diri, manusiawi, adil, beradab,…alias merealisasikan kehendak Tuhan.”(cetak tebal dari penulis)

Penutup

Sekalipun banyak orang berkata bahwa jumlah pendeta GMIH yang tidak pernah berpikir untuk meninggalkan pelayanan jemaat/gereja relativ sangat kecil. (Mereka dapat dikategorikan sebagai the remnant of Israil (sisa Israil) dalam zaman Perjanjian Lama.),  namun saya tetap yakin hakul yakin,  sama seperti Israil dapat dipulihkan kembali oleh Tuhan Allah. Demikian juga hendaknya GMIH, sebagai bagian integral dan utuh dari Israil Baru! Bagaimanapun juga, kita sekalian  akan tetap berziarah kini dan seterusnya, sebagai Gereja Masehi Injili di Halmahera, menyongsong kedatangan Tuhan Yesus Kristus – Kepala Gereja.

Akhir kata, jika ada ungkapan pikiran dan hati penulis yang dirasa pahit untuk ditelan, dari lubuk hati yang ikhlas kumohon dimaafkan. Amin.

Tobelo, 1 Februari 2012

Pdt. Hans Alexander Annu, M.Th

Mantan Dosen Fakultas Teologi Universitas Halmahera

Mantan Ketua STT GMIH Tobelo

Alumni SUSCADOSWIR XL LEMHANNAS 1997

Postingan Terbaru