Refleksi Berdasarkam Kisah Para Rasul 2:41-47
(Sudinarto Kumihi. MTh)
Perhelatan syukuran hut GMIH KE 75 TAHUN 2024 oleh Gereja mengingatkan penulis pada Juni 2019 silam. Tatkala itu penulis baru beberapa bulan menjalani Vikaris dan gereja melaksanakan peringatan Hut ke 50. Seingat Penulis Sinode GMIH waktu itu berupaya untuk mengelar acara lebih semarak dan meriah dibanding sebelumnya. Namanya saja Hut Emas, maka tidak heran menjelang 6 Juni telah berdatangan peserta lomba dari berbagai wilayah GMIH memeriahkan Hut, Penulis salah satunya. Eforia peringatan HUT GMIH bahkan kian “menjadi-jadi” paskah SSI GMIH Oktober 2013 yang menyebabkan dualisme kepengurusan dalam Sinode GMIH. Pada Juni 2024 sekali lagi “Dua kelompok” GMIH ini merayakan hutnya yang ke 75. Yang satu dengan Parade (Karnaval) dan ibadah syukuran, yang lain dengan Lomba seni-Olah raga dan syukuran. Perbedaannya jelas pada kemasan dan performance acara dan penyelenggaraannya. Namun persamaannya ada pada spirit dan militansi warga GMIH. Kemasan acara, poster dan tulisan-tulisan, bahkan syair dan lagu yang melantunkan kecintan bagi GMIH menjelang Hut 6 Juni, apakah ini nuansa revival yang menganggungkan kebesaran Kristus, ataukah sekedar pertunjukan eksistensi untuk mempertahankan hegemoni ditengah nuansa persaingan.
Jika ini adalah percikan dari gema revival menjadi gereja, maka GMIH akan menemukan dirinya menjadi Gereja Kristus yang memberi hidup bagi dunia. Dalam menghadapi pergumulan krusial yakni upaya rekonsiliasi menuju integrasi paskah deklarasi 19 Januari silam, GMIH akan tertolong meminimalisir damage ataupun gap yang menyebapkan sulit terbangunnya relasi intens antara kedua pihak.
Semangat revival sebetulnya bukan hal baru bagi gereja. Abad 16 dikenal sebagai kebangkitan besar bagi gereja seiring dengan perluasan evanggelisasi diseluruh pelosak bumi. Lalu berlanjut pada skisma gereja abad 17, menjamurnya aliran gereja (Baca: Gerakan Kharimatik dan Pentakostal) abad 19 hingga kini, kian menambah semangat revivalisme. Namun sekali lagi diperlukan sebuah refleksi yang terukur dan benar berdasarkan prinsipprinsip menjadi gereja yang Kudus, Am dan Rasuli.
Kisah Para Rasul 2:41-47 dapat disebut sebagai testimony of faith dari Lukas. Suatu deskripsi paguyuban orang percaya yang cenderung menolak eksistensi agama Yahudi yang ekslusif. Sekalipun paguyuban percaya yang baru ini cenderung mengambil sikap inklusif, namun ternyata mereka teridentifikasi sebagai suatu persekutuan yang baru dengan tatanan dan pola hidup yang dinanti-nantikan masyarakat pada zamannya.
Setidaknya ada 5 ciri kehdupan jemaat yang digambarkan Lukas dalam teks ini.
- Keberanian untuk bersaksi menyatakan kebenaran. Pemberian Roh Kudus melatari spirit menggebu-gebu murid Yesus untuk bersaksi tentang kebenaran. Ini babak baru dimana para murid benar-benar menjadi penerus dari karya Yesus di bumi yaitulah pewartaan kabar baik.
- Jemaat Bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Artinya ada ketaataan dan kesetiaan membangun hidup pada kehendak Tuhan, suatu antithesa dari keinginan hidup sembrono diluar kehendak Tuhan
- Hidup dalam kasih. Tradisi memecahkan roti (Makan bersama) yang “dihidupkan” Yesus, mendapat tempat dalam hidup persekutuan sebagai aksentuasi terhadap Yesus Kristus sebagai roti kehidupan. Lebih daripada itu tradisi ini menggemakan perasaan solidaritas terhadap kaum lemah dan miskin.
- Hidup dalam rasa syukur.
- Mereka disukai banyak orang, dan tiap-tiap hari mereka Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan. Orang yang diselamatkan itulah mereka yang telah menerima baptisan dalam nama Yesus, yang berarti menjadi bagian dalam karya keselamatan dalam Kristus.
Deskripsi Lukas menjadi sentral untuk melihat profil gereja yang ideal. Seperti apa sebetulnya gereja Kristus itu. Dan narasi ini lalu menjadi landasan bagi rumusan tentang gereja yang satu, kudus, am dan rasuli, seperti dalam Kredo latin Kuno pada abad 4 IV M, dan atau Syimblum Apostolorum (Baca Credo Rasuli) pada abad ke V.
Narasi perikop ini menjadi sebuah refleksi tentang gereja yang tidak pernah lekang oleh waktu, bagaimana menjadi gereja Kristus yang ideal ditengah tantangan dimana pudarnya persatuan anak-anak Tuhan, ancaman skisma dan perpecahan, pudarnya solidaristas dan kasih sayang, sampai pada hal esensi yang menjadI jantung dari keKristenan yakni penyataan kasih dan kebenaran Kristus.
Lalu bagaimana dengan GMIH di hutnya ke 75? Semoga penyataan hut dengan sejumlah agenda benar-benar menjadi ekspresi dari syukur kepada Allah didalam Kristus, karena sekalipun ditengah badai tantangan pertolongan Allah dinyatakan. Moment deklarasi 19 April silam mungkin menjadi jalan masuk menuju pada penyatuan ceremonial, karena dalam perspektif Teologis dimana GMIH sebagai tubuh Kristus adalah satu. Mungkinkah perayaan Syukuran di Hut ke 75 memberi spirit baru bagi GMIH menjadi gereja yang ideal, gereja yang benar bukan yang tenar? Mungkinkah karena hal demikian kedepan GMIH berpikir mengagendakan perayaan bersama, sebagai manifestasi deklarasi 19 Januari silam? Walahualam.
(Penulis adalah pendeta Gereja Masehi Injili di Halmahera