Sejarah GMIH

Orang-orang Halmahera mengenal dan menerima Injil Yesus Kristus, pada abad 16 yang dibawa oleh bangsa Portugis (Roma Katolik). Menurut catatan sejarah, perisiwa pembaptisan orang Halmahera pertama terjadinya di Mamuya, pada tahun 1534. Perkembangan gereja Roma Katolik semakin baik lagi ketika hadirnya Xaverius, seorang utusan injil Yesuit yang bekerja di Halmahera bagian Utara. Akan tetapi ketika kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619–1799, praktis Gereja Katolik dilarang untuk melakukan kegiatan misi dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh VOC yaitu Flores dan Timor.

Kemudian badan misi Utrech Zendings Verenigeeng (UZV) dari Belanda, mengirim utusan mereka seperti Hendrijk van Dijken yang berkerja di Halmahera sejak tahun 1866. Kehadiran van Dijken dan De Bode pada 19 April 1866 di Galela, dipakai sebagai tonggak baru orang Halmahera (GMIH:Protestan) mengenal dan menerima Injil Yesus Kristus. Jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui aspek aspek kehidupan manusiawi. Dari sanalah orang mulai menjadi Kristen. Namun orang Kristen pertama baru dibaptis pada 17 Juli 1874 atau lebih dari 2½ tahun orang menjadi Kristen. Yang dibaptiskan ialah 5 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.

Sementara di Tobelo banyak orang yang dibaptis oleh Hueting dalam baptisan massal. Hueting tiba di Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan menjadi penginjil di Ternate. Hal ini lantas menjadi sebuah perbedaan pola pelayanan antara Van Dijken dengan Hueting yang selalu dicakapkan oleh peneliti sejarah GMIH. Bagi sebagian peneliti GMIH Van Dijken melakukan pola pelayanan dididik dahulu baru dibaptis, sementara Hueting dibaptis dahulu baru kemudian dididik.

Ketika pasukan Jepang mengalahkan Hindia Belanda pada tahun 1942, membawa dampak bagi perkembangan kekristenan di Halmahera. Para penginjil UZV  asal Belanda yang melayani jemaat-jemaat di Halmahera juga ikut ditangkap. Bahkan pemerintah Jepang mengeluarkan keputusan untuk menutup (memalang) semua pintu-pintu gereja yang dilayani oleh badan injil UZV. Sedangkan salah satu jemaat GPM di Ternate tidak ditutup. Menurut keterangan Ds Krickhoff yang melayani GPM Ternate, oleh karena GPM sudah menjadi gereja yang mandiri ((1935), sehingga tidak dilarang, sedangkan jemaat-jemaat UZV belum merupakan suatu  gereja yang berdiri sendiri.

Atas persoalan itu, ada dua pendapat yang berkembang, yakni: 1. Segera membentuk satu badan gereja yang berdiri sendiri; 2. Memohon bantuan pelayanan dari GPM. Atas dua pendapat ini, S.B. Tolo dan kawan-kawan memilih pendapat pertama; makanya dengan bantuan sultan Ternate Iskandar Mohammad Djabir Syah, mereka menghadap Minseibu (Pemerintah Jepang). Rupanya pihak Minseibu menyambut niat baik, S.B. Tolo dan kawan-kawan, dan meminta untuk segera dibentuk satu gereja  yang mandiri. Dan akhirnya Pemerintah Jepang memberi izin untuk membuka pintu-pintu gereja yang sudah ditutup itu.  Pada tanggal 1 Oktober 1942 bertempat di Tongutesungi (Ibu), berlangsung perayaan syukur menyambut pembentukan  Gereja Protestan Halmahera dengan susunan:

S.B. Tolo  sebagai  Ketua
Guea Karetji sebagai wakil jemaat-jemaat di Jailolo
Koroni Folori sebagai wakil jemaat-jemaat Sahu
Corneles Tolo sebagai wakil jemaat-jemaat Ibu

Perkembangan selanjutnya terjadi perdebatan soal nama, apakah terus memakai nama GPH ataukah mau dirubah ?  Usulan datang dari utusan Loloda E.P. Pattiapon, yang meminta agar nama GPH diganti dengan nama GMIH, berdasar  keputusan pada rapat ring Loloda (Utara-Selatan) tanggal 30 Mei 1949. Sebab dalam tatakrama, bunyi dari huruh “H” terdengar tidak enak bagi masyarakat yang menganut budaya Tobelo, Galela dan Loloda. Sehingga lewat persidangan sinode yang diadakan di Tobelo, melakukan voting, ternyata yang memilih untuk bertahan dengan nama GPH sebanyak 7 suara, sedangkan 40 suara memilih nama GMIH. Tepatnya tanggal 5 Juni 1949, diputuskan bahwa nama baru adalah GMIH. Mengenai pergantian nama itu, S.B. Tolo mengungkapkan bahwa “GPH adalah nama ‘potong pusa’ (tali pusat bayi) sedang nama GMIH adalah nama baptisan.” Pada persidangan sinode saat itu juga telah dipilih dan ditetapkan Badan Pengurus Sinode yang pertama yakni:

Ketua  : Pdt. A. Ploeger (Zending)
Ketua Muda : Pdt. E. Polnaja
Panitera : J. Junga
Bendahara : S.B. Lesnusa
Anggota : Pdt. J. Djawa
Anggota : Guru R.B. Djago
Anggota : Guru J. Noija

Memilih dan menetapkan tanggal 6 Juni 1949 sebagai hari lahir GMIH, dikarenakan pada hari itu bertepatan dengan perayaan Hari Raya Pentakosta. Ibadah syukur tersebut dilaksanakan pada sore hari di gedung gereja Gamsungi, yang dihadiri warga jemaat, para undangan serta dihadiri pula oleh saudara-saudara dari pihak muslim. Pdt. J. Djawa  yang  memimpin ibadah syukur pada peristiwa bersejarah saat itu, mendasarkan khotbahnya pada  Efesus 4:4 tentang panggilan Allah  untuk menjadi satu tubuh, satu Roh dan satu pengharapan.

Dengan demikian, secara historis GMIH lahir dari Zending UZV. Hasil pekabaran Injil UZV itulah membentuk “pos-pos pekabaran Injil” yang kemudian hari berubah mejadi “jemaat-jemaat mandiri”. Setelah Indonesia Merdeka, tepatnya, 6 Juni 1949, para zendeling dan para tua-tua dari jemaat-jemaat yang berbeda-beda itu bersepakat untuk berjalan bersama dalam bentuk Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (Sinode GMIH).  Pertanyaan penting perlu kita ajukan di sini ialah: apa yang mendorong mereka untuk bersepakat berjalan bersama atau bersinode dalam bentuk Sinode GMIH? Kalau kita memperhatikan catatan-catatan historis dengan baik, maka kita akan menemukan paling tidak ada tiga alasan pokok sbb:

  1. memiliki tradisi iman yang sama, yaitu: tradisi iman khas Calvinis UZV
  2. memiliki  visi wilayah pelayanan yang sama, yaitu: melihat pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya sebagai medan pekabaran Injil yang satu
  3. memiliki visi pelayanan yang sama, yaitu: ingin membangun masyarakat Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya sehat secara ekonomi, budaya, dan politik berdasarkan nilai-nilai Injili.

Di sini cukup jelas bahwa sejak awal jemaat-jemaat dalam Sinode GMIH adalah jemaat-jemaat mandiri. Atas dasar kemandirian tersebutlah dibangun kebersamaan; bukan sebaliknya. Dalam pengertian ini Badan Pekerjaan Harian Sinode GMIH (BPHS-GMIH) tidak boleh mengsubordinasikan jemaat-jemaat di dalam Sinode GMIH sebagai “bawahan”. Sebaliknya, BPHS perlu menghormati aspirasi dan kemandirian dalam memutuskan apa yang paling urgen dan menjadi prioritas  sebagai kebutuhan pelayanan pada jemaat tersbut. Sebab jemaat setempat adalah tubuh Kristus dan umat Allah yang kudus dan rasuli.

Pada tanggal 6-8 September 2013 GMIH memasuki tonggak sejarah baru, dimana dilaksanakannya  Persidangan Sinode Istimewa. Tujuan dari pelaksanaan SSI ini adalah dalam kerangka mau membaharui Gereja ini, yang dalam banyak hal telah diselewengkan oleh para pemipin gereja itu sendiri. Tema yang dipilih pada persidangan ini adalah “Lihat Aku Membuat Segala Sesuatu Baru” (Wahyu 21:5b), dan dengan sub temanya “Dengan Hati yang Baru Kita Menatalayani GMIH untuk Menjadi Berkat Bagi Masyarakat” (Band. Yeheskiel 36:26).

Memang kita tidak mungkin memutar arah perubahan ke belakang. Perubahan akan terus berjalan membawa kita ke arah masa depan yang membutuhkan kepekaaan dan kemampuan kita menyesuaikan diri pada perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung menuju apa yang Karl Popper sebut: open-society, masyarakat yang lebih egaliter dan demokratis. Di sini hanya oraganisasi — termasuk organisasi GMIH— yang mau terus berlajar dan berubah akan dapat bertahan dan dapat melaksanakan misi Allah (missio Dei) dengan tepat di dalam dunia yang terus berubah itu.

Postingan Terbaru